Selama bulan puasa Ramadhan, kita diminta untuk menjaga lisan, perbuatan dan banyak beramal.
Hal itu untuk memastikan puasa yang dijalani bernilai ibadah kepada Allah SWT.
Sehingga memberikan manfaat bagi manusia yang menjalani puasa dengan penuh kekhusyukan.
Ada beberapa masalah terkait puasa yang kadang membuat bingung dan ragu-ragu.
Termasuk soal hubungan suami istri selama bulan puasa Ramadhan.
Misalnya, bagaimana hukumnya melakukan hubungan badan pasangan suami istri setelah sahur.
Dikutip dari konsultasisyariah.com, ternyata masalah itu banyak ditanyakan umat muslim.
Berikut penjelasannya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 183).
Di antara hukum-hukum tersebut adalah hukum berhubungan suami istri setelah sahur.
Tentang hal ini, Allah telah menjelaskan kebolehan berhubungan suami istri di malam hari
sejak matahari terbenam sampai fajar subuh terbit dalam firman-Nya (yang artinya),
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu
adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (Qs. al-Baqarah: 187).
Ayat ini menunjukkan berhubungan suami istri di malam bulan Ramadhan, baik di awal, tengah atau di akhirnya walaupun telah makan sahur,
selama belum muncul fajar subuh yang menjadi awal waktu puasa, bila telah masuk waktu fajar wajib menghentikannya.
Namun sebaiknya berhati-hati, sebab kalau sampai melewati waktu fajar tersebut itu bisa membatalkan puasa Anda.
Lebih-lebih dalam perkara ini, sulit sekali sadar dan dapat memperhatikan waktu dengan seksama.
Permasalahannya memang tidak sekadar batal puasanya, yakni orang yang berhubungan suami istri di siang hari – mulai waktu fajar sampai terbenam matahari– dari bulan Ramadhan diwajibkan membayar kafarat.
Berupa membebaskan budak, bila mendapatkannya dan bila tidak, maka beralih kepada puasa dua bulan berturut-turut.
Bila itu pun tidak mampu, maka wajib memberi makan 60 orang miskin, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang artinya,
“Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘slaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Celaka, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Ia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku dalam keadaan aku
[ads-post]
berpuasa.’ Dalam riwayat lain berbunyi, ‘Aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah kamu bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu beliau berkata lagi,