Raa Pramuja -
Jane (21) adalah seorang mualaf Filipina yang mengucap syahadat pertamanya ketika ia berusia 19 tahun. Setelah memeluk Islam, gadis yang berasal dari keluarga Kristen ini mengubah namanya menjadi Imaan.Imaan belum pernah mendengar tentang Islam sebelumnya. Perjalanannya dalam mencari kebenaran pun diwarnai pertentangan dari keluarga dan teman-temannya. Namun semua itu tiada berarti baginya bila dibandingkan dengan bukti-bukti kebesaran Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang ia terima.
Ia memaparkan bagaimana hatinya tergetar kala ia mendengar suara azan untuk pertama kalinya padahal ia tengah melaksanakan misa di gereja. Hingga puncaknya, ia mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa, sebuah pengalaman yang akhirnya memantapkan hatinya untuk mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
Shalallahu Alayhi wa Sallam adalah utusan Allah.
Berikut pemaparan lengkap Imaan mengenai perjalanan rohaninya yang mengharukan dan penuh hikmah luar biasa dalam menemukan kebenaran Islam, seperti dikutip page Islam,
Youth Group.
Saya dan saudara-saudara saya dibesarkan dalam keluarga Kristen oleh orang tua kami. Kami selalu menghadiri misa di gereja setiap hari Minggu. Orang tua saya memasukkan saya ke sekolah dan universitas Katolik.
Pada waktu itu saya belajar banyak tentang agama Kristen, tapi begitu banyak pertanyaan dalam pikiran saya yang tidak pernah terjawab baik oleh orang tua saya maupun oleh profesor-profesor saya.
Dulu saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri, terutama ketika kami sedang berada di gereja dan berdoa. Saya merasa begitu bingung. Saya merasa seperti ada sesuatu yang tidak benar dan saya harus menemukannya.
Suatu hari saya melihat seorang Muslimah bercadar di sebuah toko saat membeli beberapa buku. Tiba-tiba pandangan kami saling bertemu, saya menatap matanya. Pada saat itu saya merasa seperti dia adalah wanita paling cantik yang pernah saya lihat di sepanjang hidup saya. Waktu itu saya benar-benar belum tahu bahwa orang seperti dia adalah seorang Muslim. Kala itu saya masih menyebut orang-orang seperti dia dengan sebutan “ninja”.
Saat sampai di rumah, saya bertanya kepada semua bibi saya, sepupu dan beberapa teman saya mengenai mengapa ada orang yang memakai cadar, mengapa mereka menyembunyikan wajah mereka, mengapa dan mengapa dan mengapa, tapi tidak ada yang bisa menjawabnya.
Orang-orang yang saya tanya itu malah mengklaim bahwa “mereka adalah teroris”, “mereka membunuh orang-orang yang tidak bersalah”, dan sebagainya.
Saya memang tidak pernah tahu tentang Muslim dan Islam sebelumnya. Saya mendengar dari media bahwa kebanyakan dari mereka adalah teroris dan keluarga saya percaya pada apa yang mereka dengar di media. Namun saya mengabaikannya, karena saat itu saya tidak menilai orang dari agama mereka.
Ketika saya berusia 18 tahun. Saya mulai mempelajari agama-agama lain. Saya tidak pernah menyerah mencari jawaban. Orang-orang di sekitar saya, terutama orang tua saya, tampaknya merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Saya merasa seperti … tidak ada yang memahami saya.
Setahun kemudian, keluarga kami pergi ke sebuah tempat Islami di mana 60 % orang-orang di sana adalah Muslim, tapi saya tidak punya kesempatan untuk berteman dengan mereka pada saat itu karena saya merasa saya bukanlah seorang yang mudah bergaul dan saya merasa sangat malu.